Khusyu’ tempatnya di dalam hati, kemudian menyebarkan pengaruhnya kepada anggota tubuh. Di hati, khusyu’ dapat memberikan pengaruh pada diri seseorang. Ibnul Qoyyim rahimahullah menyebutkan bahwa khusyu’ yaitu perpaduan antara pengagungan, rasa cinta, dan ketundukan. Khusyu’ ialah suatu keadaan. yang ada pada seseorang yang sedang mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla.
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah mengajarkan langkah-langkah agar kita bisa khusyu’ di dalam shalat, secara ringkasnya adalah jika seseorang mendengar adzan anggaplah itu seakan panggilan hari kiamat;

  1. Ketika ia menutup auratnya hendaknya ia mengingat keburukan-keburukan hatinya yang juga harus ditutup di hadapan Allah Azza wa Jalla.
  2. Ketika ia menghadapkan wajahnya kearah kiblat maka hendaknya ia hadapkan hatinya kepada Allah Azza wa Jalla.
  3. Ketika engkau mengucapkan a�?Allahu Akbara�? maka jangan sampai hatimu berbeda dengan lisanmu yaitu dengan meyakini sesuatu yang lebih besar dari Allah Azza wa Jalla.
  4. Dan ketika engkau meminta perlindungan pada-Nya, lalu membaca ayat-ayat dalam surat al-Fatihah maka resapilah maknanya dengan hatimu, hadirkan tawadhu’ dan merendah di hadapan-Nya.
  5. Ketika ruku’ dan sujud, resapi makna dari bacaan-bacaan yang engkau baca, dan yakinlah apabila engkau laksanakan itu semua niscaya engkau akan merasakan jernihnya hati dan mendapatkan cahaya yang meneranginya.

 
Beliau rahimahullah juga menyebutkan beberapa faktor yang menjadikan shalat kita hidup dan berarti, di antaranya adalah:
Pertama;
Menghadirkan hati ketika shalat, yaitu dengan mengosongkan hati dari hal-hal yang mengganggu konsentrasi. Hal itu bisa ia dapatkan dengan tekad yang kuat. Dan tekad seseorang akan kuat ketika imannya bertambah, begitu pula sebaliknya. Oleh karenanya, yang menjadikan sulitnya menghadirkan hati dalam shalat adalah lemahnya iman.
Kedua;
Berusaha memahami bacaan-bacaan yang ia baca dalam shalat,A� yaitu dengan menghilangkan pikiran-pikiran yang mengganggu konsentrasinya ketika shalat.
Ketiga;
Menghadirkan pengagungan dan rasa takut kepada Allah, dan yang seperti ini bersumber dari dua hal: pertama: mengerti akan keagungan dan keluhuran Allah Azza wa Jalla dan yang kedua adalah mengakui kehinaan dirinya dihadapan Allah Azza wa Jalla.
 
Mengahdirkan Khusyu’ Disetiap Ibadah
Diantara hal yang bisa menghadirkan kekhusyu’an adalah rasa optimis terhadap pahala dari Allah Azza wa Jalla. Jadi, orang yang melaksanakan shalat harus benar-benar mengharapkan balasan dari Allah Azza wa Jalla semata. Namun, perlu kita fahami bahwa khusyu’ tidak hanya dituntut dalam shalat saja, akan tetapi seorang Muslim harus senantiasa menghadirkan kekhusyu’an setiap saat. Dan hal itu tidak bisa digambarkan atau diungkapkan dengan kata-kata, karena khusyu’ merupakan keadaan seseorang dihadapan Allah Azza wa Jalla, dan hanya Allah-lah yang mengetahuinya.
lbrahim an Nakha’i rahimahullah menjelaskan bahwa khusyu’ bukan sekedar memakan makanan yang tidak enak atau memakai pakaian yang jelek, akan tetapi khusyu’ ialah ketika engkau melihat bahwa orang yang mulia maupun hina, keduanya memiliki hak yang sama, dan engkau khusyu’ karena Allah Azza wa Jalla ketika melaksanakan kewajiban-Nya. Dan sungguh para salaf dahulu mereka menjauhi khusyu’ berlebihan yang dibuat-buat.
Sahabat Hudzaifah radhiyallahua��anhu pernah bertutur, a�?Berhati-hatilah kalian dari khusyu’ yang munafik, yaitu hanya badan nya yang khusyu’ namun hatinya tidak. Dan Amirul Mukminin Umar bin Khaththab radhiyallahua��anhu adalah orang yang telah mewujudkan makna khusyu’ yang sesungguhnya, sehingga ia disegani oleh manusia bahkan syaitan pun takut kepadanya. Meski demikian Aisyah radhiyallahua��anha menceritakan tentangnya, a�?Umar bin Khathab adalah orang yang cepat jalannya, kencang suaranya, keras pukulannya, dan memberi makan sampai kenyang, beliau adalah seorang hamba yang sesungguhnyaa�?.
 
Tiga Tingkatan Khusyu’
Ibnul Qayyim rahimahullah membagi khusyu’ menjadi tiga tingkatan:
Tingkatan pertama:
Tunduk terhadap perintah Allah Azza wa Jalla, dan ini bisa dilakukan oleh seorang hamba dengan benar-benar tunduk, menerima dan menjalankan perintah Allah Azza wa Jalla, serta menunjukkan bahwa ia butuh terhadap hidayah dan pertolongan-Nya, dan juga berharap agar amalannya diterima di sisi-Nya. Ditambah lagi ia benar-benar pasrah terhadap hukum Allah Azza wa Jalla, baik hukum syar’i maupun hukum kauni yaitu takdir, sehingga ia tidak berpaling dari perintah Allah Azza wa Jalla, dan tidak pula murka terhadap ketentuan-Nya.
Tingkatan Kedua:
Berhati-hati terhadap penyakit-penyakit hati yang bisa merusak amalan, seperti: sombong, ujub, riya, lemahnya keyakinan, muncul keraguan dalam hati, serta rusaknya niat.
Tingkatan Ketiga:
Berusaha untuk tidak merasa bangga terhadap amal yang ia kerjakan, atau merasa bahwa ia berhak untuk mendapatkan kemuliaan di hadapan Allah Azza wa Jalla, serta berusaha untuk menyembunyikan amalan-amalan ibadah dari manusia agar selamat dari hal-hal yang bisa merusak niatnya.
 
Sumber: Majalah As-Sunnah 07, 1439H/2017M