Kaidah Nasab Seorang Anak
Salah satu perkara agung yang syari’at Islam sangat memperhatikannya adalah perihal nasab seseorang.
Islam menjaga lima pokok dasar kehidupan manusia: agama, jiwa, akal, harta, dan nasab.
Al-Imam asy-Syathibi rahimahullah berkata, “Umat Islam bahkan seluruh agama telah sepakat bahwa syari’at agama diletakkan untuk menjaga lima hal pokok: agama, jiwa, keturunan (nasab), harta, dan akal. Ini adalah sesuatu yang pasti bagi umat Islam. Meskipun tidak ada dalil secara khusus, ini diketahui kesesuaiannya dengan berbagai dalil yang tidak hanya terfokuskan pada satu bab saja.” (al-Muwafaqat 1/31)
Nasab adalah kejelasan hubungan antara seseorang dengan orang-orang yang menyebabkannya terlahir ke alam dunia ini. Siapakah bapak dan ibunya, yang dengan itu pula akan diketahui siapa kerabat-kerabat dia lainnya, saudara, kakek, paman, dan lainnya.
MAKNA KAIDAH
Kaidah di atas mengandung makna bahwa nasab seseorang bisa bersambung kepada bapaknya karena hubungan syar’i, dalam artian jika anak itu terlahir dari seorang ibu yang dia hamil karena hubungan syar’i dengan seorang laki-laki maka berarti hubungan antara anak tersebut dengan bapaknya adalah hubungan syar’i yang dengan itu maka anak tersebut dinasabkan kepada bapaknya.
Hubungan syar’i ini seperti pernikahan atau budak (pada zaman dahulu saat masih ada perbudakan) karena itulah hubungan laki-laki dan perempuan yang diizinkan oleh syari’at. Allah berfirman:
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. (QS. Al-Muminun/23: 5-6)
Adapun nasab seseorang dengan ibunya dikaitkan dengan siapakah yang melahirkan seorang anak tersebut. Siapa pun yang melahirkannya maka dia-lah ibu anak tersebut, baik dihasilkan dari hubungan syar’i maupun hubungan haram seperti zina.
Dari sini maka para ulama sepakat bahwa anak zina dinasabkan pada ibunya bukan pada ayahnya, sebagaimana anak yang dili’an oleh bapaknya. (Lihat Bada’i’ ash Shana’i’ 5/363 oleh al-Imam al-Kasani, al-Majmu’ 19/48 oleh al-Imam an-Nawawi, al-Muhalla 10/323 oleh al-Imam Ibnu Hazm, al-Istidzkar 22/177 oleh al-Imam Ibnu Abdil Bar, Zadul Ma’ad 5/368.)
DALIL KAIDAH
Banyak dalil yang mendasari kaidah ini, di antaranya:
1. Hadits Ibnu Umar radhiyallahua ‘anhu
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ada seorang laki-laki yang meli’an istrinya pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan menafikan anaknya, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memisahkan antara keduanya dan menasabkan anak tersebut pada ibunya. (HR. Al-Bukhari 2/525, Muslim 2/1133)
Perhatikan hadits ini, saat seorang bapak menafikan nasab anaknya dari dirinya, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tetap menasabkan anak tersebut kepada ibunya karena dialah yang melahirkannya. Berlaku antara anak dan ibu tersebut semua hukum nasab, semisal saling mewarisi dan lainnya.
2. Hadits Aisyah radhiyallahua anha
Dari Aisyah radhiyallahu anha berkata, “Sa’d ibn Abi Waqqash dan Abd ibn Zam’ah bertengkar mengenai seorang anak. Sa’d berkata, ‘Wahai Rasulullah, ini adalah anak saudara saya, Utbah ibn Abi Waqqash, ia berpesan kepada saya bahwa dia adalah anaknya, lihatnya pada kemiripan antara keduanya.’ Maka Abd ibn Zam’ah berkata, ‘Wahai Rasulullah, ini adalah saudaraku, dia terlahir di firasy bapakku dari budak wanitanya.’ Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memandangnya dan beliau melihat ada kemiripan yang sangat jelas dengan Utbah ibn Abi Waqqash. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Dia untukmu, wahai Abd ibn Zam’ah. Anak itu milik yang memiliki firasy (ranjang yang halal/suami) dan bagi pezina hanyalah kerugian.'” (HR. Al-Bukhari: 6750, Muslim 2/180)
Letak pengambilan dalil dari hadits ini bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak menjadikan bagi pezina laki-laki kecuali kerugian. Oleh karena itu, si anak dinasabkan pada ibunya karena tidak ada firasy. Adapun si wanita pezina, penasaban anak itu padanya karena memang dia yang melahirkan, sama saja apakah kelahiran itu karena nikah ataukah zina. (Lihat Fathul Bari 10/36, Zadul Ma’ad 5/368, al-Majmu’.)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah saat menerangkan hadits ini berkata, “Apabila seorang laki-laki memiliki istri atau budak wanita, maka dia (istri atau budaknya) tersebut menjadi firasy baginya, dan apabila dia melahirkan anak maka anak tersebut dinasabkan kepada bapaknya, berlaku antara keduanya hukum saling mewarisi dan semua hukum nasab lainnya, sama saja apakah antara keduanya ada kemiripan ataukah tidak.” (Syarh Shahih Muslim 10/279)
Namun, para ulama berselisih tentang suatu keadaan apabila sang pezina laki-laki mengakuinya sebagai anak, dan tidak ada firasy (suami dari istri atau tuan bagi budak wanita) yang menentangnya, apakah bisa dinasabkan padanya ataukah tidak?
Pendapat pertama. Imam madzhab empat dan Ibnu Hazm mengatakan bahwa anak zina tidak bisa dinasabkan pada bapaknya secara mutlak, meskipun tidak ada firasy yang menentangnya.
Dalil mereka adalah hadits Aisyah radhiyallahu anha di atas. Dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Anak itu milik yang punya firasy dan bagi pezina hanyalah kerugian.” Hadits ini menunjukkan bahwa anak milik yang punya firasy, dan firasy tidak bisa dicapai kecuali dengan dua cara:
- Akad nikah yang shahih atau yang batil dan sudah terjadi jima’ syubhah
- Memiliki budak wanita.
Seandainya kita nasabkan anak pada pezina laki-laki itu maka berarti kita menjadikan anak pada selain firasy. Dan ini jelas bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tersebut. (Lihat at-Tamhid 7/183 oleh al-Imam Ibnu Abdil Bar, al-Inshaf 9/269 oleh al-Imam al-Mardawi, Raudhatuth Thalibin 6/44 oleh al-Imam Nawawi, al-Muhalla 5/363.)
Pendapat kedua. Beberapa ulama, diantaranya Athaa, Amr bin Dinar, Hasan dan Ishaq bin Rahawaih berpendapat bahwa apabila tidak ada pemilik firasy, lalu anak zina itu ada yang mengakuinya bahwa ia berzina dengan ibunya, maka anak zina itu dinasabkan kepada pada yang mengakuinya tersebut.
Mereka menakwilkan hadits yang dijadikan dasar oleh jumhur bahwasanya anak itu milik firasy kalau ada, namun kalau tidak ada firasy dan ada yang mengaku berzina dengan ibunya maka dia dinasabkan padanya. (Lihat al-Istidzkar 22/17 oleh al-Imam Ibnu Abdil Bar, Tsubutun Nasab hlm. 395 oleh Yasin Mahmud al-Khatib.)
Pendapat ini dikuatkan ibnu Qayyim, beliau berkata: Qiyas yang shahih menunjukkan hal ini, karena bapaknya adalah salah satu yang berzina, maka apabila anak tersebut dinasabkan kepada ibunya dan bisa mewarisinya juga adanya hubungan nasab antara ia dengan kerabat ibunya, padahal ibunya pun berzina dengan bapaknya. Si anak itupun dilahirkan dari air mani keduanya, maka apa yang menghalangi untuk dinasabkan pada bapaknya jika tidak ada yang menentangnya? Juga, pernah Juraij berkata kepada bayi yang ibunya berzina dengan seorang pengembala, siapakah bapakmu? maka si bayi menjawab, fulan si pengembala. Ini adalah pembicaraan atas bimbingan Allah yang tidak mungkin berbohong. (Lihat Zadul Maad 5/381)
Madzhab ini juga dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Mawardi dalam al-Inshaf 9/269.
Dan yang lebih menentramkan hati adalah madzhab jumhur para ulama (yakni pendapat pertama, Red). Wallahu A’lam.
Sumber: dari Majalah al-Furqon No. 147 Ed.10 1435H/2014