Salah satu hal penting yang bermanfaat bagi agama dan dunia seorang anak adalah penanaman keyakinan yang lurus dalam diri mereka. Diiringi dorongan untuk berbuat baik dan bergaul dengan orang-orang yang baik, serta memperingatkan mereka dari perbuatan dan pergaulan yang buruk. Disamping itu, membiasakan mereka untuk menegakkan shalat.
 
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Dan perintahkanlah keluargamu untuk menegakkan shalat dan bersabarlah dalam memerintahkannya. Kami tidaklah meminta rezeki kepadamu. Kamilah yang memberimu rezeki. Dan kesudahan baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa (QS. Thaha: 132)
Bersabda pula Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
Perintahkanlah anak-anak kalian ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka (jika mereka tidak mau) shalat ketika mereka berumur sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur diantara mereka?. (HR. Abu Dawud)
Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya, Tuhfatul Maudud, menjelaskan, Dalam hadist ini, terkandung tiga macam pendidikan adab: memerintahkan anak-anak untuk menegakkan shalat pada usia sepuluh tahun, dan memisahkan tempat tidur mereka.
Pada tempat yang lain, beliau menerangkan pula, Seorang anak walaupun belum mukallaf, namun walinya adalah seorang mukallaf. Seorang wali tidak boleh membiarkan anaknya melakukan sesuatu yang haram. Sebab, dia nanti akan terbiasa dan amat sulit memisahkannya dari perbuatan itu. Ini pendapat yang paling sahih di antara dua pendapat ulama.
Orang yang berpendapat anak-anak tidak haram melakukan perbuatan haram beralasan bahwa mereka itu belum mukallaf sehingga belum di haramkan bagi mereka (anak laki-laki) mengenakan pakaian sutra misalnya, sebagaimana halnya hewan boleh melakuan sesuatu yang haram.
Ini adalah sebuah kias yang paling rusak! Seorang anak walaupun belum mukallaf dia dipersiapkan untuk menerima beban syariat. Oleh karena itu, tidak boleh ia dibiarkan shalat tanpa wudhu, shalat tanpa menutup aurat dan dalam keadaan bernajis, tidak boleh pula minum khamr, berjudi, dan berbuat homoseks.
Selanjutnya, beliau menjelaskan pula, Tatkala anak telah berumur sepuluh tahun, kekuatan, akal, dan kemampuannya untuk menunaikan berbagai ibadah semakin bertambah. Karena itu, pada usia ini dia harus dipukul jika meninggalkan shalat, sebagaimana yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Pukulan ini adalah pukulan untuk medidik dan melatih sianak.
 
Pada usia sepuluh tahun ini, anak-anak juga memiliki kondisi lain yaitu kemampuannya untuk membedakan mana yang benar mana yang salah (tamyiz) ataupun kemampuan pemahamannya telah semakin kuat. Oleh karena itu, kebanyakan fuqaha berpendapat wajibnya anak yang seperti ini untuk beriman dan dihukum jika enggan untuk beriman. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Abul Khaththab dan yang lainnya. Ini adalah pendapat yang sangat kuat. Walaupun anak ini belum dicatat amalannya dalam perkara-perkara cabang (selain perkara keimanan, -pen.), sesungguhnya dia telah dianugrahi alat untuk mengenali Sang Pencipta, mengakui keesaan-Nya, membenarkan rasul-rasul-Nya, dan mampu memahami hal semisal ini serta mengambil kesimpulan darinya. Dia juga telah mampu memahami berbagai pengtahuan, pekerjaan, dan segala sesuatu yang baik dalam kehidupan dunianya. Karena itulah, tidak ada lagi uzur baginya jika dia kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, sedangkan dalil-dalil tentang keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ini lebih jelas dari pada setiap pengetahuan dan bidang kerja yang dia pelajari.
Berpijak dengan hal ini, maka keimanan kepada Alllah Subhanahu wa Ta’ala wajib ditanamkan dalam hati anak. Keimanan ini adalah suatu hal yang paling baik, paling sempurna, dan paling agung pahalanya disisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dari segala hal yang ditanamkan oleh ayah dan ibu dalam hati si anak. Keimanan ini menjadi pembuka bagi segala kebaikan, fondasi segala ketaatan dan kebaktian, serta prinsip paling pokok agar dapat beristiqomah.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sendiri pernah memberikan penerangan kepada ibnu Abbas kecil yang kala itu sedang membonceng dibelakang beliau,
Nak, sesungguhnya aku akan mengajarimu beberpa kalimat: Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu, Jagalah Allah, niscaya engkau dapati Allah ada dihadapanmu. Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah. Jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah, jikalau seluruh umat ini berkumpul untuk memberi manfaat kepadamu, sungguh mereka tidak akan bisa memberi manfaat kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetepkan bagimu. Jika mereka semua berkumpul untuk membahayakanmu, sungguh mereka tidak akan bisa membahayakanmu kecuali dengan sesuatau yang telah Allah tetapkan akan menimpamu. Telah diangkat pena dan telah kering lembaran-lembaran (catatan takdir).
Al imam ibnu Rajab rahimahullah dalam Jamiaul Ulum wal Hikam menjelaskan hadist ini, Barang siapa menjaga Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika masa kecil dan di saat kuatnya, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjaganya di masa tua dan di saat lemah kekuatannya, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menganugrahinya pendengaran, penglihatan, kemampuan, kekuatan, dan akalnya.
 
Memenuhi hati dengan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mewujudkan tauhid kepada-Nya, dan menanamkan itu semua dalam hati anak merupakan salah satu bentuk pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam jiwa mereka, dan bimbingan terhadap mereka untuk menuju kebaikan. Dalam hal ini, terkandung manfaat bagi seluruh hamba, baik dia seorang ayah maupun seoarang anak, di dunia dan akhirat.
Kemudian, ketika si anak telah mencapai usia baligh, dia diajari perkara agama yang penting. Anak mulai diajari perkara yang berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban agamanya, karena kini dia telah mukallaf. Dia diajari perkara mandi dan semisalnya, diajari behijab jika dia seorang wanita.
Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, Mayoritas kerusakan anak justru disebabkan oleh orang tua dan kurangnya perhatian orang tua terhadap anak. Anak tidak di ajari kewajiban ataupun sunnah dalam agama. Mereka sia-siakan si anak semasa kecil, sehingga tidak bisa memberi manfaat bagi dirinya sendiri, maupun bagi orang tuanya di saat orang tuanya telah renta. Ada orang tua yang mencelai anaknya karena kedurhakaannya. Si anak pun menukas Wahai, Ayah! Dahulu engkau berbuat durhaka padaku sewaktu aku masih kecil, maka sekarang aku mendurhakaimu saat engkau telah tua!
 
Ringkasannya, pada terhadap ini, orang tua wajib mengajari anak-anaknya segala sesuatu yang harus dimengerti oleh seorang mukallaf, yaitu perkara syar’i yang seorang muslim tidak boleh tidak mengetahuinya. Ini adalah salah satu dari sekian banyak hak anak yang harus ditunaikan oleh orang tua. Wallahu a’lam bish-shawab
 
Sumber : Majalah Asy Syariah