Rukun dan Syarat Proses Akad Nikah
Hidup bersama lawan jenis supaya halal dan baik harus dibangun di atas syariat Islam. Yaitu, melalui ikatan pernikahan yang diikrarkan saat proses akad nikah, dengan rukun dan syarat-syarat tertentu sehingga hubungan menjadi halal dan sah. Ikatan ini disebut dalam al-Qura��an sebagai ikatan yang amat kuat.
Dengan ini, umat Islam akan terhindar dari hubungan layaknya binatang yang hanya dibangun di atas suka sama suka, yang banyak dilakukan orang-orang kafir.
Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan, terutama yang menjangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua hal tersebut, rukun dan syarat, mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan suatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Rukun Nikah
Kedua belah pihak mempelai ada, tanpa ada pengahalang yang mengahalangi sahnya nikah. Misalnya, wanita tersebut haram bagi laki-laki karena nasab, sepersusuan, masih menjalani masa a�?iddah dan sebagainya, atau mempelai laki-lakinya kafir, sedangkan wanitanya seorang Muslimah. Jika seperti ini, maka tidak sah.
Adanya ijab, yaitu lafazh yang diucapkan pihak wali atau yang menduduki posisinya. Misalnya, dengan mengatakan, a�?Saya nikahkan kamu dengan anakku, Fulanah.a�? Dan adanya lafazh qabul, yaitu lafazh yang diucapkan calon suami atau yang menduduki posisinya, misalnya mengatakan, a�?Saya terima pernikahan atau perkawinan ini.a�?
Olah karena itulah, Allah Azza wa Jalla menamakan akad ini dengan mitsaqan ghalizha (perjanjian yang kuat). Ucapan ijab seperti di atas adalah firman Allah Azza wa Jalla :
U?UZU�UZU�U�UZO� U�UZO�UZU�U� O?UZUSU�O?U? U�U?U�U�U�UZO� U?UZO�UZO�U�O� O?UZU?U�UZO�U�U�UZO�U?UZU�UZO�
Maka ketiak Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia (QS. Al-Ahzab 33/ : 37)
Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah rahimahullah dan Ibnu Qayyim rahimahullah berpendapat, bahwa nikah sah dengan lafazh yang menunjukkan demikian, dan tidak terbatas dengan kata-kata menikahkan dan mengawinkan.
Dan nikah juga sah dari orang yang bisu dengan tulisan atau isyarat yang dapat dipahami.
Apabila ijab dan qabul telah dilaksanakan, maka pernikahan dianggap sudah terjadi, meskipun yang mengucapkan hanya bermain-main, tidak bermaksud sungguh-sungguh. Sebab, Rasulullah shallallahu a��alaihi wa sallam bersabda :
O�UZU�O�UZO�U? O�U?O?U�U?U�U?U�U�UZ O�U?O?U�U? U?UZU�UZO?U�U�U?U�U?U�U�UZ O�U?O?U�U? O�U�U�U�U?U?UZO�O�U? U?UZO�U�O�U�UZU�O�UZU�U? U?UZO�U�O�U�UZO�U�O?UZO�U?
Ada tiga hal; jika serius dianggap serius dan jika bercanda dianggap sungguh-sungguh : nikah, thalaq dan rujuk. (HR. Abu Dawud no. 2129)
Bolehkah melaksanakan akad nikah melalui telepon?
Lajnah Daimah Menyatakan agar tidak dilakukan akad nikah melalui telepon, sebab dikhawatirkan adanya penipuan dan pemalsuan serta peniruan suara, hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga kehormatan dan kemaluan. (Lihat Fatawa Lajnah Daimah no. 9118)
Berdasarakan denganA� hal di atas, apabila dapat terhindar dari mafsadah, maka akadnya sah melalui telepon. Dan diharuskan untuk melakukan pengecekan agar di dalamnya tidak terdapat ketidaksamaran dan keraguan serta tidak ada unsur penipuan dan pemalsuan dan lainnya. Karena itu, lebih baik tidak menggunakan sarana-sarana tersebut kecuali dalam keadaan sangat darurat.
SYARAT SAH NIKAH
1. Jelas Siapa Calon Suami atau Istrinya
Bisa dengan menyebutkan nama ataupun sifat yang membedakan dari yang lain atau isyarat. Misalnya, dengan menyebut nama, a�?Saya nikahkan putri saya Fulanah kepadamu”. atau mengatakan, A�a�?Saya nikahkan putri saya yang paling besara�? atau dengan isyarat, a�?Saya nikahkan putri saya ini a�� dengan mengisyaratkan kepadanya-a�?
Karenanya, wali tidak cukup hanya mengatakan, a�?Saya nikahkan putri saya kepadamu.a�?padahal dia memiliki banyak anak perempuan.
2. Keridhaan Kedua Belah Pihak: Suami-Istri
Atas dasar itu, tidak sah jika karena dipaksa, kecuali bagi yang masih kecil yang belum baligh atau bagi yang kurang akal, maka walinya boleh menikahkan tanpa izinnya.
Dalil syarat kedua ini adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut, bahwa Rasulullah shallallahu a��alaihi wa sallam bersabda :
Tidak boleh janda dinikahkan sampai diajak biacara, dan tidak boleh gadis dinikahkan sampai diminta izinnya.a�? Para Sahabat bertanya, a�?Wahai Rasulullah, bagaimanakah izinnya?a�? Beliau menjawab, a�?Yaitu dengan diamnya!a�? (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 1419)
3. Wali Wanita yang Menikahkannya
Rasulullah shallallahu a��alaihi wa sallam bersabda,
U�O�UZ U�U?U?UZO�O�UZ O?U?U�O�U�UZ O?U?U?UZU�U?USU?U�
Tidak sah nikah tanpa wali. (HR. Lima Imam Selain Nasaa��i dan dishahihkan oleh Al-Albani.)
Oleh karena itu, jika seorang wanita menikahkan dirinya tanpa wali, maka nikahnya batal (tidak sah), karena hal itu membawa kepada perzinaan. Demikian juga, karena wanita kurang mengetahui tentang hal yang lebih bermaslahat untuk dirinya. Dalil lain bahwa yang menikahkan adalah harus walinya adalah firman Allah Azza wa Jalla :
U?UZO?UZU�U�U?U?O�U?U?O� O�U�U�O?UZUSUZO�U�UZU�U� U�U?U�U�U?U?U�U�
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu. (QS. An-Nur 24/ : 32)
Di ayat ini, Allah Azza wa Jalla menunjukkan khitab (firman) -Nya kepada para wali.
Menurut Syaikh Shalih Al Fauzan hafidzahullah dalam al-Mulakhkhash al-Fiqhi bahwa wali bagi wanita adalah ayahnya, washiy (orang yang mendapat wasiat),
Kakeknya dari pihak bapak dan seterusnya ke atas, anak laki-lakinya, lalu cucunya dan seterusnya ke bawah, saudara lelakinya sekandung, lalu saudara lelakinya seayah, lalu anak-anaknya, kemudian paman, lalu paman seayah, kemudian anak-anaknya, lalu ashabahnya yang lebih dekat nasabnya seperti dalam warisan, lalu orang yang memerdekakan, kemudian hakim.
Bagaimana hukum tentang wali a�?adhal (menolak menikahkan) ?
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah (w. 620 H) berkata, a�?Dan apabila seorang wanita meminta walinya untuk menikahkannya dengan seorang yang sepadan, namun walinya menolak, maka walinya yang aba��ad (yang lebih jauh) menikahkannyaa�? (Al-Kafi fi Fiqhi al-Imam Ahmad, III/13.)
Imam An-Nawawi asy-Syafia��I rahimahullah (w. 676 H) berkata, a�?Adhl itu terjadi ketika seorang wanita yang sudah berakal dan baligh akan menikah dengan orang yang sekufua�� dengannya, sementara walinya melarangnya, walaupun kekufua��annya sudah diketahui. Akan tetapi, wali ingin menikahkannya dengan yang lain, maka itu diperbolehkan. (Minhajut Thalibin wa a�?Umdatul Muftin I/ 207)
Dengan demikian hendaklah memperhatikan urutan dalam perwalian, tidaklah penguasa menikahkannya melainkan apabila seluruh wali menolak menikahkannya. Hal tersebut berdasarkan hadits :
Penguasa adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali. (HR. Abu Dawud no. 2083, At-Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879, Ahmad VI/165.)
Adanya Saksi pada akad nikah.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu a��alaihi wa sallam :
Tidak sah nikah, kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil. (HR. Ibnu Hibban no. 4075, Ad-Daruqutni III/225, Al-Baihaqi VII/124, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jamia�� no. 7557.)
Wallahu aa��lam
Sumber: dari Majalah As-Sunnah_Baituna ed 10 1437 H/2016, Penulis Ustadz Abu Bilal Juli DermawanA�hafidzahullah