Zakat adalah sebuah kewajiban yang mengikat pada sebuah objek, yaitu kepemilikan harta. Mulai dari harta yang bersifat produktif (perdagangan), harta hasil dari pemanfaatan alam (tambang, pertanian, perkebunan), harta simpanan (emas, perak), maupun harta dadakan (barang temuan) dikenakan zakat. Sebagai sebuah kewajiban, zakat tentu mempunyai batas-batas yang menjadikannya wajib yaitu nishob dan haul.
Sebagai sebuah kewajiban zakat mempunyai nilai a�?punish and rewarda�� yang lebih berbobot dari pada sebuah anjuran biasa. Harta yang belum mencapai nishob dan haul belumlah dikatakan wajib zakat, namun jika harta sudah mencapai batas kewajiban zakat dan tidak ditunaikan maka hukum Allah sangat luar biasa. (QS. 9:75-77, 92:5-10, 9:34, 9:35, 3:180)
Dengan adanya batasan nishob, haul dan syarat-syarat lainnya membuat kewajiban zakat tidak menjadi beban bagi pemilik harta, karena secara otomatis zakat dikenakan hanya untuk kelebihan harta diluar kebutuhan pokok. Dengan demikian tidak semua orang akan terkena kewajiban zakat.
Sejatinya menjadi sebuah keuntungan bagi kita ketika harta yang kita miliki terkena kewajiban zakat, artinya kita telah melewati batasan nishob yang tidak kecil jumlahnya (termasuk golongan aghniya) dan kita lebih beruntung daripada orang lain, yaitu diberi kesempatan melaksanakan suatu kewajiban. Dimana, dimensi kewajiban itu juga membawa dampak sosial yang tidak kecil.
Lalu, bagaimana dengan orang yang hartanya belum wajib zakat? Dalam Islam, membantu orang lain tidak perlu menunggu kaya atau cukup. Karena disediakan kesempatan terbuka untuk orang pada kondisi apapun, melaksanakan amaliyah kebajikan. Jadi, undangan untuk meringankan beban bagi mereka yang membutuhkan, bukan saja datang pada saat kita cukup atau berlebih. Juga, pada saat kita sempit (QS. 3:134). Dalam beberapa penjelasan bahkan disebutkan bahwa mereka yang mampu berkorban untuk kemaslahatan dalam keadaan sempit mendapatkan apresiasi lebih dari Allah.
Dalam ukuran angka, potensi zakat banyak sekali diprediksi oleh pengamat ekonomi Islam karena adanya parameter yang membatasinya. Namun potensi instrument ekonomi Islam lainnya infaq dan shodaqoh tidak terdeteksi karena sifatnya yang sukarela. Padahal berdasarkan catatan lembaga-lembaga amil zakat nilai pengumpulan donasi diluar zakat ini jauh lebih besar. Perbandingannya bisa maencapai 30% : 70%.
Dengan nilai yang lebih besar tentunya donasi diluar zakat ini memiliki kemampuan untuk memberdayakan yang tidak kecil pula. Dengan demikian infaq yang ditunaikan meskipun kecil, telah dapat menolong saudara kita yang lemah.
Jika zakat pengumpulannya menggunakan sebuah instruksi yang bersifat a�?memaksaa�� (karena wajib), maka infaq shodaqoh lebih mengandalkan kerelaan hati pemilik harta untuk menunaikannya, meskipun sebelumya seseorang telah mengeluarkan zakat. Jadi bagi anda yang belum terkena kewajiban zakat, jangan khawatir. Karena anda masih bisa berinfaq shodaqoh dan nilai perubahannya bisa sepadan dengan zakat jika dikelola oleh lembaga yang profesional. Saatnya infaq shodaqoh anda lebih berdaya. (uqi)
Dalam kotak
Abu Quhafah (ayah Abu Bakar) berkata kepda Abu Bakar: “Aku melihat engkau memerdekakan hamba-hamba yang lemah. Sekiranya engkau memerdekakan hamba-hamba yang kuat, pasti mereka akan membelamu dan mempertahankanmu, hai anakku.” Abu Bakar menjawab: “Wahai Bapakku, aku mengharap apa yang ada di sisi Allah.” Maka turunlah ayat-ayat yang berkenaan dengan Abu Bakar ini (S.92:5-21)
(Diriwayatkan oleh al-Hakim dari Amir bin Abdillah bin Zubair yang bersumber dari bapaknya bernama Zubair.)